Minggu, 20 Januari 2008

Begnilah Ulah Penanggungjawab Redaksi Forum Keadilan

Mediacare, Mailinglist Ala PKI

Senin, 24 Desember 2007, sekitar pukul 20.00 WIB. Saat
itu saya sedang berada di sebuah mall di Jakarta
Selatan. Saya tengah sibuk memilih kaset DVD film
kartun anak-anak. Anak saya sedang gemar-gemarnya
menonton film kartun seperti Avatar, Naruto, atau film
kartun laga seperti Ultraman Gaya atau Power Rangers.
Tiba-tiba terdengar dering messages. Ah mungkin SMS
dari istri saya yang sedang menunaikan ibadah haji di
Tanah Suci. Biasanya pada jam-jam itulah istri saya
mengirim SMS. Di Tanah Suci mungkin sekitar pukul
15.00, saat menunggu shalat Ashar. Di sela-sela waktu
itu, dia sering mengirim SMS berkomunikasi dengan
saya.

Saya rogoh handphone dari kantong celana. Lalu saya
buka pesan. Ternyata bukan dari istri saya. Muncullah
pesan seperti ini.

“Hoi Bud, masih hp you nih).Terbitan beok ada foto you
dan Irawan ditutup matanya, sebagai oknum eks wartawan
FORUM pemakai Mediacare, mailinglist ala PKI”

(Kutipan sesuai dengan aslinya seperti tertera pada
SMS yang masih saya simpan. Ada kesalahan ketik,
seperti “beok” maksudnya mungkin “besok”. Yaitu
majalah Forum Keadilan yang terbit pada Senin, 31
Desember 2007).

Rupanya SMS dari Pri (begitu nama yang tertulis di hp
saya). Lengkapnya Priyono B (Bandot) Sumbogo,
penanggungjawab redaksi majalah Forum Keadilan. Sudah
berbulan-bulan saya tidak menerima SMS dari orang itu.
Membaca pesan itu, saya lantas bertanya-tanya, ada apa
lagi nih? Tidak ada angin, tidak ada hujan, kok
tiba-tiba ada SMS seperti itu. Tapi, saya tidak
membalas SMS itu. Seperti biasa, saya memang tak
pernah membalas SMS dari orang itu. Sebelumya orang
itu memang sering mengirim SMS kepada saya, tapi saya
hanya membacanya sekilas kemudian men-delete-nya. Saya
menganggapnya bukan SMS yang penting dibalas, hanyalah
SMS sampah. Kalau dibalas, selain rugi harus
kehilangan pulsa, juga tidak bermanfaat.

SMS itu kemudian saya forward ke Irawan. Saya tanya
kepada Irawan, ada tulisan apa tentang Forum Keadilan
di Mediacare. Ternyata tidak ada posting apa-apa
tentang Forum Keadilan di Mediacare. Lalu mengapa
orang itu mengirim pesan seperti itu kepada saya?
Barangkali ada postingan di Mediacare yang masih
membuat penanggungjawab redaksi Forum Keadilan itu
menyimpan dendam. Meneketehe. (mana aku tahu?)

Setelah SMS tadi, saya menerima beberapa SMS lanjutan.
Tapi saya tetap tidak membalas. Karena saya memang
nggak ngerti. Sampai pada keesokan harinya, 25
Desember, sore, penanggungjawab redaksi Forum Keadilan
itu masih mengirim SMS kepada saya. Salah satunya
berbunyi seperti ini.

“Ndal punya foto raditya mediacare. Biar tar dipasang
sama you and begundal irawan”.

Wah saya pikir orang ini memang ndableg. Perlu juga
sekali-sekali dikasih tahu. Akhirnya saya balas
seperti ini.

“You calon doktor bego amat sih. Jangan asal tuduh!
Sorry gw nggak ikut mediacare. Cerdas dikit dong
(eh..iya…preman mana ada yang cerdas…..)”

Orang itu kabarnya memang sedang mengambil program
doktor di UI. Gila juga, dalam hati saya,
mem-bego-bego- in calon doktor. (Yah kapan lagi bisa
mem-bego-bego- in calon doktor. Kalau sudah jadi
doktor, mungkin ia akan ingat bahwa hanya sayalah yang
pernah mengatakan dia bego, he…he…he). Bagaimana tidak
bego? Cek dan ricek adalah hal yang paling elementer
sebagai seorang jurnalis. Tak ada cek dan ricek sama
sekali. Asal tuduh saja. Tak heran kalau majalah Forum
Keadilan sering suka main tuduh tanpa cek dan ricek
sehingga kehilangan kredibilitas di mata media lain.

Perlu saya tegaskan bahwa saya memang bukan anggota
milis mediacare. Berani sumpah. Jadi tidak tahu
apa-apa tentang mediacare. Saya hanya anggota milis
Jurnalisme. Dan, itu pun, sudah sejak setahun ini saya
tidak pernah mem-posting. Saya hanya ikut Jurnalisme
secara pasif. Baru inilah postingan saya (itu pun
kalau diijinkan moderator.mas Farid Gaban yang juga
teman orang itu. Tadinya saya pesimis, karena
postingan ini menyangkut milis tetangga bukan tentang
Jurnalisme. Tapi saya pikir, rekan-rekan juga perlu
tahu).

Orang itu dikenal memang sering membuat perkara.
Menurut cerita yang pernah saya dengar dari kang
Dedeng (sekarang sekretaris redaksi Forum Keadilan),
di Majalah Gatra dulu orang itu pernah ribut dengan
Dwitri Waluyo, bahkan nyaris terjadi pemukulan. Di
Forum Keadilan, juga begitu. Ribut dengan Muhammad
Saleh, dan nyaris pula baku hantam dengan Ridwan
Pangkapi. Dia juga menzhalimi Ila Jamilah (sekretaris
direksi dan masih tercantum sebagai promosi Forum
Keadilan). Ila pernah berkata kepada saya, hanya
dengan mendengar suara orang itu, ia mengaku sudah
enek, serasa mau muntah. Begitu pula, orang itu
menzhalimi Suroso (waktu itu wartawan Forum Keadilan).
Juga orang itu bermasalah dengan Noorca M. Massardi
dan keluarganya. Dia juga bermusuhan dengan Tony
Hasyim, waktu itu Wapemred Forum Keadilan, di mana
Priyono pernah merengek-rengek agar bisa masuk di
Forum Keadilan. Jadi memang orang itu selalu membuat
masalah di tempat kerja dan bermusuhan dengan banyak
orang.

Di sebuah organisasi (saya lupa namanya), setelah
hengkang dari majalah Gamma, orang itu juga bermasalah
dengan Muchdi PR. Bahkan, dari cerita Kang Dedeng,
orang itu tidak akur dengan Amran Nasution, sesama
alumni Tempo. Padahal, hubungan keduanya amatlah
dekat. Amran Nasution sebelumnya meng-anak-emas- kan
orang itu. Tapi, orang itu menikam dari belakang.
Pernah pula bersama orang itu, saya bertemu dengan
Djafar Bedjeber, waktu itu politisi Partai Bintang
Reformasi (PBR). Orang itu, yang juga mengaku sebagai
partisan PBR, “kasak kusuk” tentang dana dari Djajanti
Group Prajogo Pangestu. Dan, setelah pertemuan, orang
itu berkata kepada saya, “Gue seneng kalau mereka pada
berkelahi”. Edan, pikir saya dalam hati waktu itu,
ada orang yang bangga telah mengadu-domba seperti itu.

Mailinglist ala PKI? Bukan hal yang aneh kalau orang
itu membuat perkara. Sekarang dengan anggota milis
Mediacare. Secara tidak langsung, sebenarnya orang itu
bermasalah juga dengan anggota milis Jurnalisme.
Sebab, banyak anggota milis Jurnalisme adalah juga
anggota milis Mediacare. Atau tak mau menyebut
Jurnalisme sebagai mailinglist ala PKI karena
dimoderatori mas Farid Gaban, yang juga mantan orang
Tempo? Entahlah. Tapi, menurut saya, mailinglist
adalah tempat berdiskusi, tempat berkreasi, sharing
informasi, tempat berbagi sepanjang mengikuti koridor,
yaitu aturan milis seperti ditetapkan moderator—secara
berkala moderator Jurnalisme rajin mengingatkan aturan
itu kepada anggota milis.

Seingat saya Jurnalisme pernah mendiskusikan soal
poligami Ade Armando atau soal intrik di redaksi
Global TV seiring pergantian pimpinan redaksi di
sana—naiknya Yadi Hendriyana, pernah juga bekerja di
Forum Keadilan, menjadi wakil pemimpin redaksi.
Diskusi atau posting mengenai hal itu bukankah sah-sah
saja sepanjang ada fakta dan sesuai dengan aturan
milis. Apakah ada yang salah? Rasanya kok tidak ya.

Adalah fakta juga kalau saya mengungkapkan bahwa
Priyono B. Sumbogo sebagai penanggungjawab redaksi
Forum Keadilan pernah menerima uang sebesar Rp 50 juta
dari Adrian Waworuntu, terpidana kasus pembobolan bank
BNI senilai Rp 1,3 triliun. Ini terjadi pada tahun
2005. Lewat seorang temannya sesama mahasiswa
pascasarjana Kriminologi yang menjadi pegawai LP
Cipinang. Ah, saya lupa nama pegawai itu. Mungkin
Hadi Rahman, saat ini masih di AJI Jakarta, bisa
mengingatnya. Karena Hadi Rahman terlibat langsung
dalam “proyek” ini—dan pastilah “dapat
bagian”—termasuk mewawancarai dan menulis hasil
wawancara dengan Adrian Waworuntu itu lalu muncul
sebagai cover depan majalah Forum Keadilan, dengan
wajah Adrian Waworuntu dan teks judul (kalau tidak
salah). “Saya Hanya Kambing Hitam”. (Sudah menjadi
terpidana masih juga bisa membela diri lewat wawancara
itu). Baik Priyono maupun temannya sesama mahasiswa
pascasarjana Kriminologi itu tentu sudah melihat
peluang (memang ada niat) bisa mendapatkan uang dari
Adrian Waworuntu. Dan temannya yang pegawai LP
Cipinang itu kecipratan komisi, saya lupa pastinya,
antara Rp 15 juta sampai Rp 20 juta. Jumlah yang besar
untuk seorang pegawai negeri. Hebatnya, keduanya
belajar di pascasarjana kriminologi, tapi malah
bertindak kriminal.

Adalah fakta juga kalau saya mengungkapkan bahwa
Priyono B. Sumbogo sebagai redaktur eksekutif majalah
Forum Keadilan pernah meninggalkan tugas dan
kewajibannya, bahkan pada saat yang sama bekerja di
Majalah Pilars milik Tomy Winata. Ini terjadi ketika
Noorca M. Massardi, sebagai pemimpin redaksi Majalah
Forum Keadilan, memperpanjang masa percobaan Priyono
sebagai redaktur eksekutif. Tapi, Priyono menolak
perpanjangan masa percobaan itu. Noorca tentu punya
pertimbangan dan tetap pada keputusannya. Priyono
mangkreng dan mutung. Hubungan Noorca dan Priyono
memang tidak bagus. Ini membuat suasana pekerjaan
menjadi tidak kondusif bagi Priyono. Saat itulah ia
meninggalkan tugas sebagai redaktur eksekutif. Secara
diam-diam, Priyono malah bekerja di Majalah Pilars.
Tapi, ia tidak melepaskan statusnya di majalah Forum
Keadilan. Seharusnya, kalau mau gentle, ia langsung
menyatakan keluar dari Majalah Forum Keadilan. Ini
tidak dilakukannya. Sedangkan tugas dan kewajibannya
sebagai redaktur eksekutif dikerjakan Kang Maman
Gantra. Priyono bukan saja disersi, tapi lebih dari
sekadar disersi.

Keadaan berbalik setelah Noorca memindahkan kantor
Forum Keadilan dari Wisma Fajar, Senayan, ke rumahnya
di Jl. Bank. Karyawan menolak pemindahan itu. Di saat
itulah, Priyono yang juga sudah berseberangan dengan
Timbo Siahaan, pemimpin umum Majalah Pilars, kembali
lagi ke Forum Keadilan. Dia meninggalkan tugas dan
kewajibannya di majalah Pilars—menjadi disersi lagi.
Berkat loby Ila Jamilah (sekretaris direksi yang
berulangkali mengkomunikasikan keluhan karyawan kepada
Rahmat Ismail, direktur utama sekaligus pemegang
saham), akhirnya karyawan bisa menerbitkan Forum
Keadilan tanpa Noorca M. Massardi. Dalam kekosongan
pimpinan seperti itu, Priyono B. Sumbogo mengangkat
dirinya sendiri sebagai penanggungjawab redaksi
(ingat, bukan pemimpin redaksi).

Saya sering mengibaratkan majalah Forum Keadilan itu
seperti sebuah kendaraan tua yang tidak dirawat dan
ditinggalkan pemiliknya (pemegang saham). Noorca M.
Massardi adalah sopir resmi kendaraan itu karena ia
mendapat mandat dari direksi. Setelah Noorca pergi,
tak ada lagi sopir resmi. Sekarang, kendaraan itu
disopiri Priyono B. Sumbogo. Ibaratnya, ia tak lebih
seorang “sopir tembak”, karena waktu itu tidak
mendapat mandat dari direksi (tak ada legalitas hitam
di atas putih berupa surat untuk menjalankan kendaraan
Forum Keadilan. Itu sebabnya dia bukanlah pemimpin
redaksi). Sungguh sayang, dengan pengalaman pernah di
Tempo, Gatra, atau Gamma, hanya menjadi “sopir
tembak”.

Itu sebabnya kendaraan Forum Keadilan dibawa secara
ugal-ugalan. Tabrak sana, tabrak sini. Dua kali
disemprit Dewan Pers (dalam kasus Raja Garuda Mas dan
kasus hak jawab yang tak dimuat), tapi tetap saja
“sopir tembak” itu tak peduli. Dalam pikirannya hanya
kejar setoran (bisa cetak dan menerbitkan) . Anehnya
para penumpangnya (awak Forum Keadilan) nyaman saja.
Sayang, orang seperti Asep R. Iskandar (Persatuan
Wartawan Indonesia Reformasi) atau Juli Indahrini
dibawa sopir ugal-ugalan. Kasihan……

Menyebut “Mediacare, mailinglist ala PKI” adalah salah
satu bentuk ugal-ugalan penanggungjawab majalah Forum
Keadilan itu. Bentuk lainnya, jika tidak suka pada
sesuatu (sekadar contoh tidak suka digugat secara
perdata oleh Irawan lewat Humphrey Jemat),
penanggungjawab redaksi ini menulis panjang lebar di
majalah Forum Keadilan membela diri. Sesuatu yang
tidak akan pernah—dan saya haqqul yakin, mustahil,
dilakukan Pemimpin Redaksi Majalah Tempo atau Gatra,
bahkan Gunawan Muhammad sekalipun—yang menggunakan
berlembar-lembar di medianya untuk membela diri atau
menyudutkan orang lain. Selain tidak etis, bentuk
seperti itu bisa dianggap penyalahgunaan wewenang
sebagai pemimpin redaksi. Hanya oknum sajalah yang
menyalahgunakan wewenang. Lembaga bredel sebenarnya
dimaksudkan untuk menertibkan oknum-oknum petinggi
redaksi yang ugal-ugalan dan menyalahgunakan wewenang
seperti itu. Masak kita harus menghidupkan lagi
lembaga bredel?

To be continued…….(setelah ini saya pasti akan
menerima sms aneh-aneh dari orang itu, tapi pasti akan
saya cuekin).

Tidak ada komentar: